RINTISAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL
Dalam rangka menuju SBI, sebagian sekolah berlomba-lomba menghadirkan konsultan untuk membantu proses persiapan sekolah, sehingga pada masa akreditasinya mendatang dapat sukses sesuai dengan harapan.
Dengan semangat bahu membahu, seluruh warga sekolah mulai Kepala Sekolah sampai dengan tukang kebun dimaksimalkan untuk meraih predikat SBI.
SBI sendiri, secara sederhana dan awam sekali identik dengan durasi waktu disekolah lebih panjang dibanding dengan sekolah yang belum memiliki standar. Bagi sebagian orang tua tentu sangat bersyukur dengan adanya program tersebut, minimal anak-anaknya tetap dalam pengawasan pihak sekolah.
Tetapi perlu diingat bahwa, semua pasti ada konsekwensinya. Khususnya bagi siswa-siswi muslim. RSBI-SBI hendaknya juga mencakup pengawasan anak didik sampai dengan implementasi kegiatan ibadah Mahdhoh. (khususnya Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar). Karena jika hal tersebut diabaikan, bukan tidak mungkin siswa-siswi akan berkutat pada pelajaran umum, tanpa diikuti penunaian kewajiban sebagai muslim.
Sehingga sangat mutlak bagi sekolah-sekolah yang notabene memiliki siswa muslim mayoritas, juga sebagai persyaratan standar SBI, mutlak ditambahkan syarat-syarat lain seperti :
1. Tempat Ibadah (Masjid, Mushala atau ruangan kelas) dan fasilitas lainnya (mck-wudhu), yang kapasitasnya cukup dengan jumlah murid.
2. Penyesuaian jadwal KBM (kegiatan Belajar Mengajar) yang disesuaikan dengan jadwal umum shalat Dhuhur dan Ashar. misalnya dengan memindahkan jam istirahat disesuaikan dengan waktu shalat dhuhur dan ashar.
3. Penertiban dan penunaian shalat Dhuhur dan Ashar secara berjamaah dengan melibatkan siswa-siswi.
4. Standarisasi output pengetahuan dan wawasan agama, serta ketrampilan agama bagi siswa didik dengan mengefektifkan peran manajemen masjid dan majlis taklim.
5. Teladan dari Bpk/Ibu Guru dalam pelaksanaan Ibadah Shalat Dhuhur dan AShar
Penulis termasuk yang was-was terkait dengan implementasi SBI dimasa mendatang tanpa pembiasaan diri siswa dalam beribadah dan mengingat tuhannya.
Mari, cegah dan tangkal budaya sekulerisme barat, pendidikan boleh kita tiru, tetapi harus kita sempurnakan, karena kita yakin, setelah mati nanti kita akan dikirimi bantuan hukum dari ilmu yang kita berikan pada anak didik kita. jika ilmu baik akan menjadi investasi kebaikan, jika ilmu jelek/kebijakan jelek, tentu saja akan dikirimi dosa......
wallahu a'lam bi syawab...
yang hendaknya ada penertiban mengenai pelaksanaan Ibadah ShalatDhuhur dan Ibadah Shalat Ashar, dengan beberapa menyediakan ruangan/mushala/masjid sesuai dengan jumlah siswa memiliki siswa muslim
Kamis, 31 Desember 2009
Selasa, 12 Mei 2009
MENAKAR POPULARITAS SBY JILID II
MENAKAR POPULARITAS SBY JILID II
Oleh : Kholid Hanafi*)
Sampai tulisan ini diterbitkan, baru ada pasangan capres-cawapres satu paket, Jusuf Kalla-Wiranto. Lainnya masih melakukan komunikasi politik yang berputar-putar tanpa ujung. Sebenarnya dari fenomena tersebut terlihat jelas betapa gamangnya calon pemimpin-pemimpin kita, untuk menghadapi pilpres.
Jika melihat dari sejarah perjalanan pemerintahaan SBY-JK, sebenarnya memberikan harapan baik bagi semua bidang, meski belum sampai pada tujuan; Infrastruktur berjalan meski lambat, iklim investasi terbuka, bahkan semakin banyak investor dari dunia ketiga (timur tengah). Yang menandakan ada kepercayaan dari dunia usaha. hal ini juga diperkuat dari hasil-hasil polling dari lembaga-lembaga survei. Sehingga sangat ideal jika pemerintahan ini berjalan untuk satu periode lagi. Analisa pengamat (Bpk. JkKRISTIADI), menyampaikan hasil polling diatas dapat digunakan sebagai bentuk terjemahan respon rakyat, jika diabaikan, hati-hati rakyat akan menghukum dan tidak akan memilih mereka.
Meski telah lewat, perlu kita koreksi bersama. Pada saat itu sebenarnya sedang ada pertarungan pada bathin masing-masing (baca SBY dan JK) karena sesungguhnya mereka berdua telah menerima amanat secara penuh dari partai masing-masing untuk menentukan koalisi (capres-cawapres), yang berarti keputusan ada dikedua orang ini. Wal hasil, ada indikasi keduanya (baca SBY-JK) memilih untuk mengikuti ego masing-masing, dan melupakan suara rakyat yang terekam melalui jajak pendapat.
Pada pilpres 2004, SBY-JK berhasil memenangi pilpres dengan mengandalkan popularitas SBY dan kemampuan finansial JK. Dan jangan lupa SBY memulai dengan membentuk pencitraan terdhalimi pada pemerintahan Megawati. Kebetulan rakyat Indonesia saat itu mudah trenyuh dan gampang sekali prihatin. Saat ini, SBY bukanlah sosok yang tersakiti, atau pantas ditrenyuhkan. Bahkan mecoba sedikit menyinggung perasaan konstituen Golkar dengan membuat kriteria-kriteria yang dimana JK tidak akan bisa masuk sebagai calon wapresnya.
Berbicara konsep lain, idealnya kalau tujuan awalnya demi Indonesia dan harapan rakyat serta kemenangan bersama, mestinya peluang hasil survei keduanya tinggal meneruskan dan tidak perlu buang-buang energi untuk mencari pasangan-pasangan, dengan menyempurnakan komunikasi politik antara SBY-JK antara keduanya, tanpa diikuti oleh para konsultan-konsultan politik mereka. Karena yang kita sebut terakhir ini pun sebenarnya punya agenda lain, yang tidak diketahui dan yang tahu hati nurani mereka masing-masing.
Kembali ke langkah SBY-JK. Sebenarnya banyak peluang keduanya untuk menyempurnakan duet mereka diperiode 5 tahun kedepan ini. Katakanlah SBY-JK meninggalkan partai masing-masing, karena toh pada masa lalu (pemilu 2004) mereka menang bukan karena mesin partai, tapi karena figur mereka berdua. Dengan mengikutsertakan partai mereka, sebenarnya sangat membebani mereka sendiri dalam menyusun kerjasama politik ini, karena harus membawa banyak gerbong kepentingan yang berbeda-beda. Skenario politik kedua figur ini dapat diatur dengan mudah dan sederhana. Taruhlah SBY-JK berduet lagi untuk periode 5 tahun mendatang, dan menang. Untuk periode yang akan datang, tinggal JK yang akan meneruskan, karena SBY jelas terhalang oleh peraturan (dua kali menjabat berturut-turut).
Nasi sudah menjadi bubur, dan akhirnya kepentinganlah yang abadi. Kepentingan siapa? Sulit diprediksi. Dengan buyarnya duet SBY-JK sebenarnya telah menjatuhkan kredibilitas dan menurunkan popularitas keduanya dan membuka peluang pecahnya suara pilpres Juli 2009 nanti, dan akan berserakan di pasangan capres-cawapres lainnya, yang pada akhirnya cita-cita sebagian rakyat Indonesia yang peduli dengan kemiskinan Indonesia untuk cukup pilpres satu putaran saja terancam gagal.
Belum lagi, pengumuman cawapres pendamping SBY diakhir masa pendaftaran capres-cawapres menjadi pembenar akan egonya SBY dan partainya setelah memenangi pemilu. Dengan mengumumkan cawapres diakhir masa kampanye, telah mengunci ruang gerak partai-partai yang mendekat ke SBY. Hanya satu partai yang diuntungkan dengan keputusan SBY tersebut, jika nantinya yang dipilih adalah salah satu kader dari partai yang mendekat ke SBY-Demokrat, itupun belum tentu mendongkrak dan membantu hasil suara bagi SBY. Sedangkan dilain pihak akan memberikan luka menganga bagi partai-partai lainnya yang mendekati SBY yang tidak dipilih oleh SBY, karena partai-partai yang mendekat ke SBY berharap menjadi orang kedua-cawapres, meskipun mereka akan memperoleh jatah sebagai menteri atau lembaga tinggi lainnya. Tak urung ini akan memberikan dampak yang tidak sehat bagi pemerintahan mendatang.
Koalisi yang dibangun Demokrat dan partai lain, yang mengusung SBY sebagai calon presiden, lebih mundur dan terkesan sangat tidak transparan dibandingkan dengan koalisi Golkar-Hanura. Kedudukan dan daya tawar partai-partai lain (baca : PKS, PAN, PKB, dan PPP) sangat kecil dan terpinggirkan. Apapun keputusan yang diambil SBY nantinya tetap akan menyakitkan meski bagi yang lain sangat menyenangkan. Hal ini diperparah oleh kebijakan partai Demokrat yang menyerahkan keputusan pemilihan cawapres kepada SBY. Dengan demikian, seolah-olah SBY dituntut untuk bekerja sendiri dengan mengandalkan popularitasnya. Disinilah politik kepentingan yang dijalankan oleh partai Demokrat dan para kadernya. Mereka menumpang SBY saat pemilu legislatif, yang mengorbitkan para caleg dari Demokrat. Setelah mereka sukses giliran menyerahkan kepada SBY untuk bertarung sendiri mengandalkan popularitasnya, dengan dalih menyerahkan keputusan cawapres kepada SBY. Meminjam istilah siapa memanfaatkan siapa.
Terakhir terdengar santer isu yang berkembang, dimana SBY akan memilih cawapres professional dan bukan dari partisan. Para mitra koalisi merespon dengan kecewa dan merasa dikhianati. Secara psikologis ini wajar terjadi, karena akumulasi beban berat untuk memutuskan menentukan cawapres oleh SBY. Dengan pilihan ini SBY gagal juga dalam menyusun kekuataan kekuasaan di parlemen, dimana jelas tidak mungkin professional memiliki lobi apalagi dapat menguasai suara secara signifikan di parlemen. Lalu apa ikhlas para parpol yang mendekat ke SBY ditugasi untuk menjadi bemper di parlemen nantinya.
Kesiapan lebih awal sudah dimiliki oleh kawan lamanya SBY, yatiu JK dengan menggandeng Wiranto. Menakar keberhasilan JK-Win, perlu kita telaah, bahwa Mesin politik Golkar terbukti berhasil mempertahankan infrastruktur politiknya, meski mengalami penurunan tetapi tidak signifikan. Sementara Hanura berhasil masuk 10 besar meski partai baru. Pasangan ini memang belum diperhitungkan termasuk oleh lembaga-lembaga survey. Tetapi jelas mereka sudah menang dengan start awal lebih dahulu, sementara calon lainnya masih menghitung-hitung kekuatan dan menjajagi koalisi politik serta tinggal memutuskan memilih cawapres.
Selanjutnya kita akan lihat sejauhmana SBY dan para konsultan politiknya merespon keadaan ini. Akankah egosiasme ini akan dipertahankan. Sesuatu yang dibangun dengan egosiasme jelas akan menghasilkan hukum kesendirian. Jika ini dipertahankan berarti SBY dan para konsultan politiknya jelas hanya mengandalkan popularitasnya. Lalu beranikah SBY menjual popularitas saja untuk yang kedua ini. Mari kita lihat dan kita simak perjalanannnya.
*) praktisi pendidikan & psikologi sosial
Oleh : Kholid Hanafi*)
Sampai tulisan ini diterbitkan, baru ada pasangan capres-cawapres satu paket, Jusuf Kalla-Wiranto. Lainnya masih melakukan komunikasi politik yang berputar-putar tanpa ujung. Sebenarnya dari fenomena tersebut terlihat jelas betapa gamangnya calon pemimpin-pemimpin kita, untuk menghadapi pilpres.
Jika melihat dari sejarah perjalanan pemerintahaan SBY-JK, sebenarnya memberikan harapan baik bagi semua bidang, meski belum sampai pada tujuan; Infrastruktur berjalan meski lambat, iklim investasi terbuka, bahkan semakin banyak investor dari dunia ketiga (timur tengah). Yang menandakan ada kepercayaan dari dunia usaha. hal ini juga diperkuat dari hasil-hasil polling dari lembaga-lembaga survei. Sehingga sangat ideal jika pemerintahan ini berjalan untuk satu periode lagi. Analisa pengamat (Bpk. JkKRISTIADI), menyampaikan hasil polling diatas dapat digunakan sebagai bentuk terjemahan respon rakyat, jika diabaikan, hati-hati rakyat akan menghukum dan tidak akan memilih mereka.
Meski telah lewat, perlu kita koreksi bersama. Pada saat itu sebenarnya sedang ada pertarungan pada bathin masing-masing (baca SBY dan JK) karena sesungguhnya mereka berdua telah menerima amanat secara penuh dari partai masing-masing untuk menentukan koalisi (capres-cawapres), yang berarti keputusan ada dikedua orang ini. Wal hasil, ada indikasi keduanya (baca SBY-JK) memilih untuk mengikuti ego masing-masing, dan melupakan suara rakyat yang terekam melalui jajak pendapat.
Pada pilpres 2004, SBY-JK berhasil memenangi pilpres dengan mengandalkan popularitas SBY dan kemampuan finansial JK. Dan jangan lupa SBY memulai dengan membentuk pencitraan terdhalimi pada pemerintahan Megawati. Kebetulan rakyat Indonesia saat itu mudah trenyuh dan gampang sekali prihatin. Saat ini, SBY bukanlah sosok yang tersakiti, atau pantas ditrenyuhkan. Bahkan mecoba sedikit menyinggung perasaan konstituen Golkar dengan membuat kriteria-kriteria yang dimana JK tidak akan bisa masuk sebagai calon wapresnya.
Berbicara konsep lain, idealnya kalau tujuan awalnya demi Indonesia dan harapan rakyat serta kemenangan bersama, mestinya peluang hasil survei keduanya tinggal meneruskan dan tidak perlu buang-buang energi untuk mencari pasangan-pasangan, dengan menyempurnakan komunikasi politik antara SBY-JK antara keduanya, tanpa diikuti oleh para konsultan-konsultan politik mereka. Karena yang kita sebut terakhir ini pun sebenarnya punya agenda lain, yang tidak diketahui dan yang tahu hati nurani mereka masing-masing.
Kembali ke langkah SBY-JK. Sebenarnya banyak peluang keduanya untuk menyempurnakan duet mereka diperiode 5 tahun kedepan ini. Katakanlah SBY-JK meninggalkan partai masing-masing, karena toh pada masa lalu (pemilu 2004) mereka menang bukan karena mesin partai, tapi karena figur mereka berdua. Dengan mengikutsertakan partai mereka, sebenarnya sangat membebani mereka sendiri dalam menyusun kerjasama politik ini, karena harus membawa banyak gerbong kepentingan yang berbeda-beda. Skenario politik kedua figur ini dapat diatur dengan mudah dan sederhana. Taruhlah SBY-JK berduet lagi untuk periode 5 tahun mendatang, dan menang. Untuk periode yang akan datang, tinggal JK yang akan meneruskan, karena SBY jelas terhalang oleh peraturan (dua kali menjabat berturut-turut).
Nasi sudah menjadi bubur, dan akhirnya kepentinganlah yang abadi. Kepentingan siapa? Sulit diprediksi. Dengan buyarnya duet SBY-JK sebenarnya telah menjatuhkan kredibilitas dan menurunkan popularitas keduanya dan membuka peluang pecahnya suara pilpres Juli 2009 nanti, dan akan berserakan di pasangan capres-cawapres lainnya, yang pada akhirnya cita-cita sebagian rakyat Indonesia yang peduli dengan kemiskinan Indonesia untuk cukup pilpres satu putaran saja terancam gagal.
Belum lagi, pengumuman cawapres pendamping SBY diakhir masa pendaftaran capres-cawapres menjadi pembenar akan egonya SBY dan partainya setelah memenangi pemilu. Dengan mengumumkan cawapres diakhir masa kampanye, telah mengunci ruang gerak partai-partai yang mendekat ke SBY. Hanya satu partai yang diuntungkan dengan keputusan SBY tersebut, jika nantinya yang dipilih adalah salah satu kader dari partai yang mendekat ke SBY-Demokrat, itupun belum tentu mendongkrak dan membantu hasil suara bagi SBY. Sedangkan dilain pihak akan memberikan luka menganga bagi partai-partai lainnya yang mendekati SBY yang tidak dipilih oleh SBY, karena partai-partai yang mendekat ke SBY berharap menjadi orang kedua-cawapres, meskipun mereka akan memperoleh jatah sebagai menteri atau lembaga tinggi lainnya. Tak urung ini akan memberikan dampak yang tidak sehat bagi pemerintahan mendatang.
Koalisi yang dibangun Demokrat dan partai lain, yang mengusung SBY sebagai calon presiden, lebih mundur dan terkesan sangat tidak transparan dibandingkan dengan koalisi Golkar-Hanura. Kedudukan dan daya tawar partai-partai lain (baca : PKS, PAN, PKB, dan PPP) sangat kecil dan terpinggirkan. Apapun keputusan yang diambil SBY nantinya tetap akan menyakitkan meski bagi yang lain sangat menyenangkan. Hal ini diperparah oleh kebijakan partai Demokrat yang menyerahkan keputusan pemilihan cawapres kepada SBY. Dengan demikian, seolah-olah SBY dituntut untuk bekerja sendiri dengan mengandalkan popularitasnya. Disinilah politik kepentingan yang dijalankan oleh partai Demokrat dan para kadernya. Mereka menumpang SBY saat pemilu legislatif, yang mengorbitkan para caleg dari Demokrat. Setelah mereka sukses giliran menyerahkan kepada SBY untuk bertarung sendiri mengandalkan popularitasnya, dengan dalih menyerahkan keputusan cawapres kepada SBY. Meminjam istilah siapa memanfaatkan siapa.
Terakhir terdengar santer isu yang berkembang, dimana SBY akan memilih cawapres professional dan bukan dari partisan. Para mitra koalisi merespon dengan kecewa dan merasa dikhianati. Secara psikologis ini wajar terjadi, karena akumulasi beban berat untuk memutuskan menentukan cawapres oleh SBY. Dengan pilihan ini SBY gagal juga dalam menyusun kekuataan kekuasaan di parlemen, dimana jelas tidak mungkin professional memiliki lobi apalagi dapat menguasai suara secara signifikan di parlemen. Lalu apa ikhlas para parpol yang mendekat ke SBY ditugasi untuk menjadi bemper di parlemen nantinya.
Kesiapan lebih awal sudah dimiliki oleh kawan lamanya SBY, yatiu JK dengan menggandeng Wiranto. Menakar keberhasilan JK-Win, perlu kita telaah, bahwa Mesin politik Golkar terbukti berhasil mempertahankan infrastruktur politiknya, meski mengalami penurunan tetapi tidak signifikan. Sementara Hanura berhasil masuk 10 besar meski partai baru. Pasangan ini memang belum diperhitungkan termasuk oleh lembaga-lembaga survey. Tetapi jelas mereka sudah menang dengan start awal lebih dahulu, sementara calon lainnya masih menghitung-hitung kekuatan dan menjajagi koalisi politik serta tinggal memutuskan memilih cawapres.
Selanjutnya kita akan lihat sejauhmana SBY dan para konsultan politiknya merespon keadaan ini. Akankah egosiasme ini akan dipertahankan. Sesuatu yang dibangun dengan egosiasme jelas akan menghasilkan hukum kesendirian. Jika ini dipertahankan berarti SBY dan para konsultan politiknya jelas hanya mengandalkan popularitasnya. Lalu beranikah SBY menjual popularitas saja untuk yang kedua ini. Mari kita lihat dan kita simak perjalanannnya.
*) praktisi pendidikan & psikologi sosial
Langganan:
Postingan (Atom)